Senin, 13 September 2010

Berburu Air di Sumur Seribu Pulau Sapuka

Beberapa orang nampak bergerak perlahan menyusuri jalan setapak dikegelapan malam itu. Suara ombak sayup-sayup terdengar. Tak lama mereka masuk ke rimbunan pepohonan dan semak-semak. Suara ramai terdengar dari balik rimbunan semak dan pepohonan tersebut. Seseorang nampak sibuk menghunjamkan sebatang linggis berkali-kali ketanah. Seorang lain didekatnya menunggu jeda hunjaman linggis lalu mengambil tanah dan menggalinya.
Begitu berulang-ulang. Hingga dari lubang yang dalamnya semeter tersebut mulai muncul air, mereka berhenti sejenak. Tak lama kemudian air yang ada dilubang tersebut berpindah ke sebuah ember. Setelah itu mereka berpindah ke tempat lain yang jaraknya kurang lebi dua meter dari lubang sebelumnya untuk membuat lubang dan mengambil air yang muncul. Setelah air yang tertampung cukup satu atau dua ember, mereka pun bergegas pulang sembari menjinjing air hasil perburuannya malam itu. Demikian aktifitas warga di pulau Sapuka pada masa kemarau.
Pada siang hari barulah nampak lubang-lubang bekas penggalian tersebut ternyata berjumlah sangat banyak. Hingga warga menamakannya sumur seribu. Jangan coba-coba berlarian di kebun kalau tidak mau terjerembab karena menginjak lubang-lubang tersebut.
Air yang merupakan kebutuhan dasar manusia menjadi barang yang langka di pulau Sapuka terutama di musim kemarau. Kalau musim hujan mereka menampung air hujan untuk minum dan masak serta kadang-kadang mandi. Tetapi lebih sering sering mereka menggunakan air laut yang asin itu untuk mandi sehari-hari.
Pulau Sapuka termasuk dalam wilayah administrasi kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) propinsi Sulawesi Selatan meskipun secara geografis jaraknya dengan pulau Sumbawa lebih dekat. Dari Sumbawa pulau ini dapat dicapai dengan menggunakan perahu dengan waktu tempuh kurang lebih 12  jam, sedangkan dari Pangkep antara 24 sampai 36 jam. Bahkan bila sedang musim gelombang tinggi waktu tempuh bisa mencapai 3 hari 3 malam. Bahkan ketika hari sedang cerah, Gunung Tambora yang berada di kepulauan Sumbawa nampak jelas terlihat dari pulau Sapuka.
Lebih dekatnya jarak ke Sumbawa membuat warga lebih sering berkunjung dan berbelanja kebutuhan sehari-hari ke Sumbawa dari pada Pangkep atau Makassar.
Seperti halnya kebanyakan pulau kecil lainnya, sebagian besar warga Pulau yang merupakan ibukota kecamatan Liukang Tangaya ini beraktifitas sebagai nelayan. Bagang, pancing dan jaring digunakan menangkap berbagai jenis ikan laut.   Bagang utamanya menangkap ikan mairo dan cumi-cumi, pancing untuk memperoleh ikan sunu, kerapu, katambak, masidu dan lain-lainnya. Sedangkan jaring untuk mendapatkan ikan tendro. ikan tendro yang bermoncong panjang ini  mereka jual ke pedagang ikan di Lombok.
Salah seorang nelayan mengungkapkan bahwa orang Lombok dan Bima sangat doyan dengan ikan tendro. Hampir setiap hari ada pedagang yang datang ke pulau untuk membeli ikan tendro hasil tangkapan warga pulau Sapuka.  sangat jarang ikan tendro dijual ke tempat lain seperti Makassar atau Pangkep karena menurut pengalamannya ikan tersebut tak akan laku dijual di sana.   entahlah mengapa..
Ikan yang dijual dalam keadaan hidup seperti Sunu biasanya dijual ke pengumpul yang juga merangkap sebagai Punggawa (punggawa adalah istilah dari bahasa Bugis yang artinya kurang lebih adalah Boss. istilah ini sering digunakan dalam dunia sosial kenelayanan yang menunjukkan seseorang yang memiliki kemampuan modal kuat untuk mengadakan sarana menangkap ikan seperti alat tangkap dan bekal. Peralatan tersebut secara teknis dioperasikan oleh nelayan yang disebut ’sawi” yang kurang lebih berarti anak buah. Biasanya antara punggawa dan sawi terdapat kesepakatan tidak tertulis yakni sawi harus menjual hasil tangkapannya kepada punggawanya. Sangat tidak dibenarkan seorang sawi menjual kepada pembeli yang bukan punggawanya. Ia akan dicap sebagai pembelot dan akibatnya peralatan menangkap ikan akan ditarik oleh punggawa).
Ikan lainnya seperti katambak, sulir dan kerapu lebih banyak dikeringkan terlebih dahulu sebelum dijual. Hampir setiap hari di pelabuhan Paotere Makassar kapal pembawa ikan kering dari pulau Sapuka berlabuh. seorang pedagang mengakui bahwa mereka kadang-kadang harus tinggal dikapal selama tujuh hingga sepuluh hari karena menunggui ikan keringnya habis terjual. kesempatan menunggu itulah yang mereka manfaatkan untuk menikmati Kota Makassar. “saya paling suka kalau malam hari. banyak lampu kelihatan terang. “Kalau di pulauki lampu cuma dari jam 6 sore sampe jam 10 malam”, kata anak muda itu.
Apapun itu, kesulitan air bersih hingga listrik yang tersedia cuma dari jam 6 sore hingga jam 10 malam, tetapi roda kehidupan masih terus di pulau Sapuka.
http://sangkarang.wordpress.com/2010/06/26/sumur-seribu-di-pulau-sapuka/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar